Jiwa tak setia lagi tinggalkan raga.yang terbujur kaku.
Merampas semua hiruk pikuk ke duniawian.
Hingga tertinggal bahagia atau menderita?
Semua terhubung dengan apa yang kita jalani di dunia.
APABILA keadaan sudah berakhir dan memasuki pintu maut, yakni saat-saat
meninggalkan dunia dan menghadapi akhirat, yang diistilahkan dengan
ihtidhar (detik-detik kematian/kedatangan tanda-tanda kematian).
Maka seyogianya keluarganya yang tercinta mengajarinya atau menuntunnya
mengucapkan kalimat “Laa ilaaha illallah” (Tidak ada tuhan selain Allah)
yang merupakan kalimat tauhid, kalimat ikhlas, dan kalimat takwa, juga
merupakan perkataan paling utama yang diucapkan Nabi Muhammad SAW dan
nabi-nabi sebelumnya.
Kalimat inilah yang digunakan seorang muslim untuk memasuki kehidupan
dunia ketika ia dilahirkan dan diazankan di telinganya (bagi yang
berpendapat demikian), dan kalimat ini pula yang ia pergunakan untuk
mengakhiri kehidupan dunia.
Jadi, dia menghadapi atau memasuki kehidupan dengan kalimat tauhid dan meninggalkan kehidupan pun dengan kalimat tauhid.
Ulama-ulama kita mengatakan, “Yang lebih disukai untuk mendekati si
sakit ialah famili yang paling sayang kepadanya, paling pandai mengatur,
dan paling takwa kepada Tuhannya.
Karena tujuannya adalah mengingatkan si sakit kepada Allah Ta’ala,
bertobat dari maksiat, keluar dari kezaliman, dan agar berwasiat.
Apabila ia melihat si sakit sudah mendekati ajalnya, hendaklah ia
membasahi tenggorokannya dengan meneteskan air atau meminuminya dan
membasahi kedua bibirnya dengan kapas, karena yang demikian dapat
memadamkan kepedihannya dan memudahkannya mengucapkan kalimat syahadat.”
Kemudian dituntunnya mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah mengingat
hadits yang diriwayatkan Muslim dari Abi Sa’id secara marfu’:
“Ajarilah orang yang hampir mati diantara kalian dengan kalimat laa illaaha illallah.” (HR Muslim).
Orang yang hampir mati didalam hadits ini disebut dengan “mayit” (orang
mati) karena ia menghadapi kematian yang tidak dapat dihindari.
Jumhur ulama berpendapat bahwa menalkin (mengajari atau menuntun) orang
yang hampir mati dengan kalimat laa ilaaha illallah ini hukumnya mandub
(sunnah), tetapi ada pula yang berpendapat wajib berdasarkan zhahir
perintah. Bahkan sebagian pengikut mazhab Maliki mengatakan telah
disepakati wajibnya.
Hikmah menalkin kalimat syahadat ialah agar akhir ucapan ketika
seseorang meninggal dunia adalah kalimat tersebut, mengingat hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Hakim serta disahkan olehnya dari
Mu’adz secara marfu’:
“Barangsiapa yang akhir perkataannya kalimat laa ilaaha illallah, maka ia akan masuk surga.” (HR Abu Daud).
Gema Insani Press.
DICUKUPKANNYA dengan ucapan laa ilaaha illallah karena pengakuan akan
isi kalimat ini berarti pengakuan terhadap yang lain, karena dia mati
berdasarkan tauhid yang diajarkan Nabi Muhammad SAW, disamping itu agar
jangan terlalu banyak ucapan yang diajarkan kepadanya.
Sebagian ulama berpendapat agar menalkinkan dua kalimat syahadat, karena
kalimat kedua (Nabi Muhammad SAW) mengikuti kalimat pertama.
Tetapi yang lebih utama ialah mencukupkannya dengan syahadat tauhid, demi melaksanakan zhahir hadits.
Seyogyanya, dalam menalkinkan kalimat tersebut jangan diperbanyak dan
jangan diulang-ulang, juga janganlah berkata kepadanya: “Ucapkanlah laa
ilaaha illallah,” karena dikhawatirkan ia merasa dibentak sehingga
merasa jenuh, lalu ia mengatakan, “Saya tidak mau mengucapkannya,” atau
bahkan mengucapkan perkataan lain yang tidak layak.
Hendaklah kalimat ini diucapkan kepadanya sekiranya ia mau mendengarnya dan memperhatikannya, kemudian mau mengucapkannya .
Atau mengucapkan apa yang dikatakan oleh sebagian ulama, yaitu berdzikir
kepada Allah dengan mengucapkan: “Subhanallah, walhamdulillah, wa laa
ilaaha illallah.”
Apabila ia sudah mengucapkan kalimah syahadat satu kali, maka hal itu
sudah cukup dan tidak perlu diulang, kecuali jika ia mengucapkan
perkataan lain sesudah itu, maka perlu diulang menalkinnya dengan lemah
lembut dan dengan cara persuasif (membujuknya agar mau mengucapkannya),
karena kelemahlembutan dituntut dalam segala hal terlebih lagi dalam
kasus ini. Pengulangan ini bertujuan agar perkataan terakhir yang
diucapkannya adalah kalimat “Laa ilaaha illallah,”
Diriwayatkan dari Abdullah bin al-Mubarak bahwa ketika ia kedatangan
tanda-tanda kematian (yakni hampir meninggal dunia) ada seorang
laki-laki yang menalkinkannya secara berulang-ulang, lantas Abdullah
berkata, “Seandainya engkau ucapkan satu kali saja, maka saya tetap atas
kalimat itu selama saya tidak berbicara lain.”
Dalam hal ini, sebaiknya orang yang menalkinkannya ialah orang yang
dipercaya oleh si sakit, bukan orang yang diduga sebagai lawannya (ada
rasa permusuhan dengannya) atau orang yang hasad kepadanya, atau ahli
waris yang menunggu-nunggu kematiannya.
Sementara itu, sebagian ulama menyukai dibacakan surat Yasin kepada orang yang hampir mati berdasarkan hadits:
“Bacakanlah surat Yasin kepada orang yang hampir mati diantara kamu.” (HR Ahmad).
Namun demikian, derajat hadits ini tidak sahih, bahkan tidak mencapai derajat hasan, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah.
Disamping itu, disukai menghadapkan orang yang hampir mati ke arah
kiblat jika memungkinkan, karena kadang-kadang si sakit tengah menjalani
perawatan di rumah sakit hingga ia menghadap ke arah yang sesuai dengan
posisi ranjang tempat ia tidur.
Yang menjadi dalil bagi hal ini adalah hadits Abu Qatadah yang
diriwayatkan oleh Hakim, bahwa ketika Nabi SAW datang di Madinah, beliau
bertanya tentang al-Barra’ bin Ma’rur, lalu para sahabat menjawab bahwa
dia telah wafat, dan dia berpesan agar dihadapkan ke kiblat ketika
hampir wafat, lalu Rasulullah saw. bersabda:
“Sesuai dengan fitrah.” (HR Hakim).
Imam Hakim berkata, “Ini adalah hadits sahih, dan saya tidak mengetahui
dalil tentang menghadapkan orang yang hampir mati ke arah kiblat
melainkan hadits ini.”
Ada dua macam pendapat dari para ulama mengenai cara menghadapkan orang sakit ke arah kiblat ini:
Pertama, ditelentangkan di atas punggungnya, kedua telapakkakinya ke
arah kiblat, dan kepalanya diangkat sedikit agar wajahnya menghadap ke
arah kiblat, seperti posisi orang yang dimandikan. Pendapat ini dipilih
oleh beberapa imam dari mazhab Syafi’i, dan ini merupakan pendapat dalam
mazhab Ahmad.
Kedua, miring ke kanan dengan menghadap kiblat, seperti posisi dalam
liang lahad. Ini merupakan pendapat mazhab Abu Hanifah dan Imam Malik,
dan nash Imam Syafi’i dalam al-Buwaithi, dan pendapat yang mu’tamad
(valid) dalam mazhab Imam Ahmad.
Sebagian ulama memperbolehkan kedua cara tersebut, mana yang lebih
mudah. Sedangkan Imam Nawawi membenarkan pendapat yang kedua, kecuali
jika tidak memungkinkan cara itu karena tempatnya yang sempit atau
lainnya, maka pada waktu itu boleh dimiringkan ke kiri dengan menghadap
kiblat. Jika tidak memungkinkan, maka di atas tengkuknya atau
punggungnya.
Imam Syaukani berkata, “Yang lebih cocok ialah menghadap kiblat dengan
miring ke kanan, berdasarkan hadits al-Barra’ bin Azib dalam Shahihain:
“Apabila engkau hendak naik ke tempat tidurmu maka berwudhulah seperti
wudhumu ketika hendak shalat, kemudian berbaringlah di atas lambungmu
sebelah kanan.”
Dalam riwayat lain disebutkan:
“Jika engkau meninggal dunia pada malam harimu itu, maka engkau berada pada fitrah (kesucian).” (Muttafa’alaih).
Dari riwayat ini tampak bahwa seyogyanya orang yang hampir meninggal dunia hendaklah dalam posisi seperti itu.
Diriwayatkan juga dalam al-Musnad dari Salma Ummu Walad Abu Rafi’ bahwa
Fatimah binti Rasulullah saw. radhiyallahu ‘anha, ketika akan meninggal
dunia beliau menghadap kiblat, kemudian berbantal dengan miring ke
kanan. [dry/islampos].
Referensi: E-book Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid 1/DR. Yusuf al-Qaradhawi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar