Kamis, 23 Oktober 2014

Tiga Kerajaan Hindu-Budha



Nusantara mengenal kerajaan sejak mendapat pengaruh Hindu-Budha dari India. Hubungan dagang dengan pedagang Gujarat (India) telah berlangsung sejak permualaan masehi. Cukup banyak kerajaan yang muncul. Tulisan singkat ini hanya membahas tiga kerajaan saja. Di dalamnya kita akan belajar bagaimana Sriwijaya membangun perekonomian mirip dengan Singapura yang memiliki kebijakan wajib transit bagi penerbangan internasional yang berwisata dari negara-negara Barat ke Indonesia (Bali), kerukunan antarumat beragama pada zaman Mataram Kuno, maupun membangun peradaban lewat karya sastra dari kerajaan Kediri.


Sriwijaya

Sriwijaya adalah kerajaan bercorak Budha terbesar di Nusantara. Kerajaan ini berdiri sejak abad ke-7 hingga abad ke-14. Kerajaan ini cukup lama berdiri karena letaknya strategis—dilalui jalur perdagangan internasional. Pusat kerajaannya awalnya berda di sekitar Palembang atau dekat sungai Musi. Pada waktu itu para pedagang Tiongkok yang akan ke India pasti singgah di Sriwijaya untuk melakukan bongkar muat. Para pedagang India yang menuju ke Tiongkok pun akan singgah. Para pedagang Tiongkok yang singgah akan membayar pajak. Kerajaan Sriwijaya memberikan keamanan jalur perdagangan laut dari bajak laut sebagai timbal balik dari pungutan pajak tersebut. Keamanan laut itu didukung armada laut yang kuat.

Faktor lainnya yang mendorong perkembangan Sriwijaya adalah runtuhnya kerajaan Funan di Vietnam akibat serangan Kamboja. Hal ini telah memberi kesempatan Sriwijaya untuk cepat berkembang sebagai negara maritim. Puncak kejayaan kerajaan Sriwijaya terjadi pada abad ke-9, yaitu masa pemerintahan Balaputradewa. Balaputradewa adalah keturunan dari Dinasti Syailendra, yakni putra dari Raja Samaratungga (Mataram Kuno) dengan Dewi Tara (Sriwijaya). Hal tersebut diterangkan dalam Prasasti Nalanda.

Balaputradewa menjalin hubungan erat dengan Kerajaan Benggala (India) yang pada saat itu dipimpin Raja Dewapala Dewa. Raja tersebut memberikan sebidang tanah kepada Balaputradewa untuk pendirian sebuah asrama bagi para pelajar dan siswa yang sedang belajar di Nalanda. Pendirian asrama tersebut dibiayai oleh Balaputradewa. Hal tersebut menandakan Sriwijaya memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan, terutama agama Budha dan bahasa Sansekerta bagi generasi mudanya.

Sriwijaya pada masa pemerintahan Marawijayottunggawarman telah mengenal struktur pemerintahan. Seorang rakryan—wakil raja di daerah, diutus untuk mengurus setiap daerah kekuasaan. Daerah kekuasaan Sriwijaya cukup luas, yaitu meliputi sebagian besar Sumatera, pulau-pulau sekitar Jawa bagian Barat, sebagian Jawa Tengah, Kalimantan bagian Barat, dan Semenanjung Melayu.

Sriwijaya mengalami kemunduran karena beberapa hal. Pertama, pusat pemerintahan Sriwijaya tidak lagi di dekat pantai. Hal itu terjadi karena Sungai Musi makin banyak membawa endapan lumpur sehingga pusat pemerintahan sempat dipindahkan ke Jambi. Kedua, banyak daerah kekuasaan Sriwijaya yang melepaskan diri. Hal ini disebabkan melemahnya angkatan laut Sriwijaya sehingga pengawasan wilayah-wilayah kekuasaannya makin berkurang. Ketiga, Sriwijaya mendapat serangandari kerajaan-kerajaan lain. Tahun 1077 diserang Colamandala (India). Tahun 1275 dilakukan Ekspedisi Pamalayu oleh Raja Kertanegara dari Sriwijaya yang menyebabkan Melayu melepaskan diri. Tahun 1377 armada angkatan laut Majapahit menyerang Sriwijaya. Serangan ini mengakhiri riwayat Kerajaan Sriwijaya.

Mataram Kuno

Mataram Kuno adalah kerajaan yang berdiri pada pertengahan abad ke-8 di Jawa bagian Tengah. Pusat kerajaan belum dapat dipastikan. Ada yang menyebutkan di Medang. Yang lainnya memperkirakannya di Toh Pitu. Kerajaan ini dipimpin oleh dua dinasti yang silih berganti, yaitu Dinati Sanjaya yang bercorak Hindu dan Dinasti Syailendra yang bercorak Budha. Menurut Prasasti Canggal yang berangka tahun 732 M, Raja Sanna telah digantikan oleh Raja Sanjaya.

Mataram Kuno memiliki kedekatan sejarah dengan Sriwijaya. Dalam Prasati Sojomerto diperkirakan Dapunta Syaliendra berasal dari Sriwijaya dan menurunkan Dinasti Syailendra. Dapunta Syailendra diperkirakan yang menurunkan Sanna, sebagai raja di Jawa. Setelah Raja Sanjaya wafat, ia digantikan oleh puteranya Rakai Panangkaran. Panangkaran mendukung adanya perkembangan agama Budha. Pada masanya didirikan Candi Kalasan dan arca Manjusri.

Setelah kekuasaan Panangkaran berakhir, timbul persoalan dalam dinasti atau keluarga kerajaan Syailendra. Hal itu terjadi karena adanya perpecahan antara anggota keluarga yang sudah beragama Budha dan keluarga yang masih memeluk agama Hindu (Syiwa). Keluarga Syailendara yang beragama Hindu berkuasa di Jawa bagian Utara. Mereka meninggalkan kompleks Candi Dieng dan kompleks Candi Gedongsongo. Sementara yang beragama Budha meninggalkan candi-candi, seperti Ngawen, Mendut, Pawon, dan Borobudur di Selatan Jawa.

Perpecahan dalam keluarga Syailendra tidak berlangsung lama. Keluarga itu bersatu kembali melalui perkawinan Rakai Pikatan yang beragama Hindu dengan Pramudawardani—putri Samaratungga, yang beragama Budha. Perkawinan itu terjadi pada tahun 832 M. Kerukunan antarumat beragama bahkan telah terjadi pada abad ke-9 di Mataram Kuno. Hal itu ditandai dari beberapa bukti. Pertama, Candi Prambanan sebagai mahakaraya Dinasti Sanjaya yang bergama Hindu ternyata memiliki arstitektur Budha. Kedua, Candi Prambanan terletak tidak jauh dari Candi Sewu dan Palosan yang bercorak agama Budha. Ketiga, tidak ditemukan kerusakan pada bangunan Candi Prambanan (Hindu) dengan candi bercorak Budha lainnya seperti Sewu dan Palosan yang berdekatan.

Kita yang pernah berwisata ke Yogyakarta biasanya juga akan mengunjungi Candi Borobudur. Kita mengira Borobudur berada di provinsi Yogyakarta karena letaknya tidak jauh dari Yogyakarta. Namun, Borobudur sebenarnya berada di Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Candi ini didirikan Oleh Raja Samaratungga pada abad ke-9. Borobudur sebenarnya bukan candi, melainkan sebuah stupa besar. Dalam agama Budha stupa merupakan perwujudan dari makrokosmos yang terdiri dari tiga tingkatan, yaitu kamadatu, rupadatu, dan arupadatu. Kamadatu merupakan alam bawah, bagian ini berada di bagian bawah Borobudur. Relief kamadatu terdapat relief atau gambar yang agak vulgar yang menandakan manusia yang masih terikat hawa nafsu. Pada kamadatu dijumpati relief karmawibangga, yaitu hukum sebab-akibat yangmerupakan hasil perbuatan manusia. Pada rupadatu dijumpai relief manusia yang terikat hawa nafsu makin berkurang karena digambarkan manusia berusaha lepas dari hawa nafsu. Arupadatu adalah alam atas, yaitu tempat para dewa. Bagian ini berada pada tingkat ketiga, termasuk stupa induk berada di atas rupadatu. Cara membaca relief pada dinding Borobudur yaitu searah jarum jam.

Sebagai candi pemujaan, Borobudur berhubungan dengan Candi Mendut dan Candi Pawon. Ketiga candi itu menunjukkan proses ritual keagamaan. Mula-mula ritual keagamaan dilakukan di Candi Mendut. Kemudian, persiapan dilakukan di Candi Pawon dan puncak ritual keagamaan dilakukan di Borobudur.

Kediri

Kerajaan Kediri diperkirakan berdiri abad ke-11 di pulau Jawa. Kehiupan politik pada awal berdirinya ditandai dengan perang saudara antara Jenggala dan Panjalu. Perang dimenangkan oleh Panjalu. Pada tahun 1104 M tampil keajaan Panjalu dengan rajanya Jayawangsa. Kerajaan ini lebih dikenal dengan Kerajaan Kediri dengan ibukotanya di Daha.

Kerajaan Kediri adalah kerajaan pertama yang mempunyai sistem administrasi kewilayahan berjenjang. Hierarki (tingkatan) kewilayahan dibagi tiga jenjang. Struktur paling bawah dikenal dengan thani (desa). Desa ini terbagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil lagi yang dimpimin seorang duwan. Setigkat lebih tinggi di atasnya disebut wisaya, yaitu sekumpulan desa-desa. Tingkatan paling tinggi yaitu negara atau kerajaan yang disebut dengan bhumi.

Kehidupan ekonomi Kerajaan Kediri sangat maju. Rakyat hidup makmur. Mata pencaharian utamanya adalah bertani. Pelayaran dan perdgangan juga berkembang. Hal tersebut didukung armada lautnya yang kuat sehingga menjamin keamanan perairan Nusantara. Sriwijaya bahkan pernah mengakui kebesaran Kediri, yang telah mampu mengembangkan pelayaran dan perdagangan. Kediri adalah penghasil emas, perak, gading, kayu cendana, dan pinang. Kesadaran rakyat tentang pajak juga sudah tinggi. Menurut berita dari Tiongkok dan kitab Ling-wai-tai-ta bahkan mengatakan bahwa rumah penduduk pada waktu itu bersih dan teratur—lantainya ubin berwarna kuning dan hijau.

Di bidang kebudayaan, yang menonjol adalah perkembangan seni sastra dan pertunjukan wayang panji. Ada beberapa karya sastra yang terkenal, yaitu Kitab Baratayuda, Kitab Kresnayana, Kitab Smaradahana, Kitab Lubdaka. Isi ceritanya dapat anda baca selengkapnya dalam buku sumber yang dirujuk tulisan singkat ini, yaitu pada halaman 123-124.

Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Indonesia, 2014. Edisi Revisi. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, hal. 96-124.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...