Inilah penjara Pangeran Diponegoro yang sangat pendek atapnya.
Penjara bawah tanah yang terdapat di Museum Fatahillah Jakarta
merupakan salah satu saksi sejarah perjuangan Kanjeng Pangeran
Diponegoro di Pulau Jawa, dalam upaya mengusir penjajahan Belanda dari
bumi nusantara.
Di sinilah Pangeran Diponegoro menjadi tawanan perang selama 32 hari (11 April 1830 sampai 3 Mei 1830).
Dahulu Museum Fatahillah merupakan Gedung Balaikota (Stadhuis).
Pembangunannya dimulai tahun 1707 pada masa pemerintahan Gubernur
Jenderal Joanvan Hoon. Gedung ini selesai pembangunannya tahun 1712.
Saat saya mencoba memasuki penjara tersebut, bulu kuduk saya langsung
berdiri. Saya ngeri membayangkan betapa sengsaranya para tahan yang
mendekam di dalamnya. Ruang tahanan tersebut sangat sempit luasnya
kira-kira 6×6 meter persegi.
Tinggi atapnya kurang dari 150 cm. Meskipun ada jeruji jendela, tetap
saja terasa pengap. Dengan atap penjara sependek itu, otomatis saat
berada dalam penjara, saya terpaksa berjalan dengan posisi badan
membungkuk nyaris 110 derajat!
Baru lima menit berada di sini dalam keadaan membungkuk, pinggang dan
punggung saya langsung pegal-pegal. Terpaksalah saya ganti posisi dengan
berjongkok. Mungkin beginilah rasanya yang dialami Pangeran Diponegoro
saat menjadi tawanan perang. Saya seakan bisa merasakan betapa
letihnya Pangeran Diponegoro karena tidak bisa berdiri tegap.
Di lantai penjara terdapat bola-bola batu dengan beragam ukuran, ada
yang kecil-kecil dan besar. Bola batu yang amat berat ini disambungkan
pada rantai baja yang gunanya untuk mengikat kaki tahanan agar tidak
dapat kabur dari penjara.
Ini bola batu yang sangat berat. Ada lubang di atasnya untuk merantai kaki tawanan.
Di sisi depan Museum Fatahillah, terdapat sebuah penjara lagi yang
kondisinya tidak kalah mengerikan. Mengapa? Sebab penjara bawah tanah
yang satu ini kondisinya selalu berair. Dahulu, jika airnya makin kotor
makin bagus dengan maksud untuk memberikan efek jera bagi para tawanan.
Konon jika tidak kuat maka lama kelamaan penghuni penjara berlantai air
kotor dan bau ini akan tewas kedinginan dengan sendirinya.
Penjara bawah tanah yang lantainya sengaja dibiarkan berair.
Pangeran Diponegoro yang merupakan keturunan Hamengkubuwono III
Kesultanan Yogyakarta ini memiliki kemampuan strategi perang yang sangat
modern, hampir mirip dengan strategi perang jaman sekarang. Oleh karena
kemampuannya tersebut, seringkali dalam tempo tidak sampai satu hari,
setiap wilayah di Pulau Jawa yang telah dikuasai Belanda, mampu direbut
kembali oleh Diponegoro dan pasukan pendukungnya.
Jelaslah Diponegoro merupakan ancaman sangat serius bagi kelangsungan kolonisasi Belanda di Pulau Jawa.
Museum Fatahillah yang berlokasi di Kota Tua, Jakarta
Setelah dari Batavia (sekarang Jakarta), akhirnya Pangeran Diponegoro
dipindahkan lagi ke Benteng Amsterdam di Manado selama tiga tahun
lamanya.
Tahun 1834 Pangeran Diponegoro diasingkan pemerintah Kolonial Belanda ke
Benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan dan wafat dalam
pengasingan 8 Januari 1855 di usia 89 tahun.
Sampai saat ini, makam Kanjeng Pangeran Diponegoro yang terletak di
Jalan Diponegoro, Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo, Makassar-Sulawesi
Selatan, selalu ramai dibanjiri pengunjung.
(Puri Areta)(http://yasirmaster.blogspot.com)
(Puri Areta)(http://yasirmaster.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar